Senin, 01 Juni 2009

MENCARI KESEMPATAN YANG ANEH

Saya membaca KDK tentang tawaran yang disampaikan oleh Mikael Torangamang Kelen,dkk kepada sdri saya dan adik ipar saya untuk berdamai dengan pihak Ata Maran. Tawaran ini bagi saya agak aneh, mengapa? memang mereka lupa dan mereka itu Kelen dari mana, kalau mereka tahu diri tentu tidak akan bersikap dan memberikan tawaran demikian. Jangan memanfaatkan pihak lain dalam hal ini keluarga saya, untuk menunjukkan bahwa kasus pembunuhan itu ddiselesaikan dengan cara berdamai. Tentu akan memunculkan reaksi keras dari pihak Ata Maran yang selama ini kami bela dan berjuang dengan cara bagaimana agar pembunuh adik Yoakim Gresituli Ata Maran dijebloskan kedalam hotel prodeo. Apakah mereka tidak membaca tulisan saya dari jauh??

Cara menitip pesan demikian apa posisi yang menerima tawaran itu? Jangan menyeret mereka atau mempengaruhi mereka masuk dalam lingkaran kejahatan. Kasihan mereka hanya perempuan yang bekerja dan berjuang mencari makan sendiri. Pesan damai dititipkan pada mereka untuk diteruskan kepada pihak suku Beoang, ini lucu dan aneh, inspirasi atau petunjuk dari mana. Kalau ada inisiatip menawarkan perdamaian ada fenomena bahwa mereka telah melakukan sesuatu yang kurang baik kepada pihak Ata Maran. Dalam tataran kehidupan di lewo tana dan dimana saja kita berada, pihak yang menawarkan perdamaian memberi petunjuk bahwa mereka telah melakukan sesuatu tindakan yang merugikan, dalam hal ini kita kaitkan dengan situasi di lewo tana adalah pembunuhan terhadap adik Yoakim Gresituli Ata Maran. Mungkin tawaran ini memberikan suatu petunjuk baik bahwa keterlibatan mereka dalam kasus "Blou" pelan-pelan mulai terungkap. Jadi berani berbuat, harus berani bertanggungjawab, jangan melibatkan pihak lain, di samping itu Mikael Toaraangamang,dkk. memanfaat situasi di tengah kegembiraan masyarakat Eputobi merayakan 25 tahun pesta perak P.Kondrad. Dia bersama komplotannya mulai merasa gusar karena pada hari perayaan pesta perak itu tgl. 2 Juni 2009 akan hadir begitu banyak tamu, sehingga mereka mulai mencari kesempatan untuk tampil dan memposisikan diri mereka sebagai orang-orang yang bersih dan berwibawa. Merasa tertekan oleh situasi sosial mereka selama ini berkoak-koak kesana kemari akan mulai nampak belangnya, siapa mereka sebenarnya.

Mikael Torangamang ,dkk, sebenarnya adalah siluman, karena siluman mereka mulai keluar dari dunia siluman, mereka keluar dari dunianya agar tidak ketahuan bahwa mereka adalah pelaku utama peristwa "BLOU" menampilkan suatu adegan konyol seperti tersebut di atas sehingga pencari silmunan, yaitu para penegak hukum tidak dapat menagkap mereka. Sebenarnya fenomena tawaran untuk berdamai ini digunakan oleh pihak penegak hukum untuk menelusuri, mengapa mereka menawarkan perdamaian dengan pihak Ata Maran, apakah selama ini mereka bermusuhan dengan pihak Ata Maran? Ini suatu petunjuk baik untuk cepat menangkap para siluman di lewo tana.

Kalau sdr. Mikael Torangamang,dkk. ingin berdamai dengan pihak Ata Maran, silakan memenuhi persyaratan yang dikemukakan oleh Ata Maran. Karena dalam kehidupan bermasyarakat ada pihak yang ingin berdamai dengan pihak lain, entah apa, pasti ada persyaratan-perssyaratan yang harus dipenuhi sehingga perdamaian itu dapat dilaksanakan dengan baik, dan hasil perdamaian itu berdampak positif pula. Saya kira persyaratan itu tidak berat, karena kalian adalah siluman, pasti menghidupkan kembali adik Yoakim Gresituli Ata Maran, dan meminta bantuan siluman lain untuk menyedot air laut. Pasti tawaran kalian dapat dipertimbangkan. Dari kota Kediri saya menyampaikan SALAM GRESITULI, kita berjuang untuk menuntut ditegakannya keadilan atas peristiwa "BLOU".

Selasa, 26 Mei 2009

SMPN 3 WATES MENUJU SSN

Pemerintah dalam hal ini Depdiknas terus memcacu sekolah-sekolah negeri untuk meningkatkan eksistensinya. Eksistensi sekolah-sekolah negeri tercermin dari akreditasi sekolah tersebut. Salah satu persyaratan menuju Sekolah Standar Nasional (SSN) adalah akreditasi sekolah adalah A. Untuk menuju ke akreditasi A sekolah harus membenahi dalam segala aspek yang berkaitan dengan akreditasi itu sendiri. Persyaratan-persyaratan yang dimaksud antara lain SDM guru, kelulusan, animo peserta didik yang masuk, dll.Tentu semua aspek yang menjadi persyaratan itu tidak langsung dipenuhi oleh sekolah yang ingin meraih SSN, akan tetapi membutuhkan proses persiapan.

Dalam Rencana Pengembangan Sekolah (RPS) skala prioritas yang ditetapkan apakah sudah tepat atau belum. Misalnya, SDM guru perlu ditetapkan dalam jangka waktu tertentu semua guru sudah memiliki kelayakan mengajar yaitu berijazah S1(Sarjana) yang relevan dengan mata pelajaran yang diampuh. didukung dengan tenaga administrasi yang kompeten. Selanjutnya Kepala Sekolah memotivasi gurunya dan memberikan kesempatan dan dukungan untuk melanjutkan studi ke S2 (Porgram Magister).Dengan pemikiran tersebut perlu adanya penataan guru dalam mengampuh mata pelajaran sesuai dengan basik atau keahliannya. Dalam realitanya SMP Negeri 3 Wates Kabupaten Kediri telah memiliki guru yang berijhazah S2 sejumlah 3 tiga) orang sedangkan yang lain masih berijazah S1. Namun dalam proses pembelajaran guru yang mengampuh mata pelajaran ada yang tidak sesuai karena kelebihan guru dalam bidang studi tertentu. Hal tersebut perlu ada suatu kebijakan penataan kembali sehingga SMP Negeri 3 Wates dalam waktu dekat sudah dapat menjadi Sekolah Standar Nasional (SSN).

Tingkat kelulusan pada SMP Negeri 3 Wates dari tahun ke tahun sudah menunjukkan adanya peningkatan yang cukup signifikan. Untuk memacu tingkat kelulusan sesuai dengan standar SSN diperlukan penyediaan sarana dan prasarana yang memadai terutama menyangkut media pembelajaran teknologi terkini.Walaupun saat ini sudah ada pengadaan namun belum memenuhi standar untuk memacu tingkat kelulusan. Belum tersedianya sarana dan prasarana yang memadai berdampak pada animo peserta didik yang masuk ke SMP Negeri 3 Wates. Memang dalam realitanya pada 2 (dua) tahun terakhir ini SMP Negeri 3 Wates menolak begitu banyak pendaftar dikarenakan telah memenuhi Pagu yang telah ditetapkan oleh Diknas Pendidikan kabupaten Kediri.

Pada saat ini SMP Negeri 3 Wates, kabupaten Kediri termasuk dalam kategori sekolah potensial. Dikategorikan sebagai sekolah potensial karena telah memenuhi persyaratan menuju SSN.Semoga SMP Negeri 3 Wates dibawah kepemimpinan Bpk.H.M.ZUBAIDI,S.Pd., MM. dapat menjadi Sekolah Standar Nasional. Amin.


Jumat, 22 Mei 2009

MUSNAHNYA SATWA DI LEWOTANA

Sewaktu saya masih kecil dan tinggal di tepi jalan raya jurusan Larantuka - Maumere, ada sebuah pohon besar tumbuh di tepi jalan raya. Setiap pagi saya menyaksikan begitu banyak burung yang terbang duduk-duduk di dahan dan ranting pohon besar itu, sambil mengeluarkan suara yang indah. Begitu indahnya situasi lewotana yang sejuh, damai dan tentram bersatu dengan alam. Dunia terus berputar, kehidupan masyarakat di lewotana pun terus berubah, dan sikap masyarakat terhadap alam pun mulai berubah. Satwah yang seharusnya dilindungi, malahan tiba-tiba lenyap, hilang tidak kedengaran suaranya lagi. Ke mana saja burung-burung itu?? Pertanyaan ini muncul ketika saya berlibur ke tempat kelahairanku, yaitu Eputobi. Pada waktu itu pohon besar yang dulunya berada di tepi jalan, saat itu sudah berada di tengah yang diapiti jalan raya untuk mempermudah kendaraan dari jurusan Larantuka ke Maumere dan dari Maumere ke Larantuka. Pohon itu tetap ada tapi sepi tidak ada burung yang bertengger di dahan maupun di ranting-rantingnya. Saya bertanya kepada saudaraku, sudah kemana burung-burung yang dulu begitu banyak, jawabnya sudah dibedil orang, termasuk orang Eputobi sendiri. Ah begitu kejamnya!! Bukannya hanya di situ saja, tetapi burung-burung yang begitu banyak di Lewooking (kampung lama) pun ikut musnah. Para pemburu menggunakan cara memberikan sesajian padad leluhur di Lewooking agar mereka dapat memperoleh burung yang banyak.

Oleh karena burung-burung di hutan telah punah, habis, generasi Lewoingu mulai kebingungan mencari tempat burung. Mencari kesana kemari tidak ketemu burung-burung yang dikehendaki, muncul dalam benak mereka ada mangsa lain yang lebih mudah didapat. Mangsa ini perlu dimusnahkan pula agar jangan mengganggung kehidupan kita. Mereka pun mulai mengadakan ritual agar mangsa yang dicari sebagai pengganti burung cepat dihabisi. Mangsa-mangsa di lewotana ada banyak, jadi para pencari mangsa ini kebingungan, mangsa yang mana harus dimusnahkan. Mereka pun berdiskusi, berargumentasi yang dipandu oleh sang GURU PENGECUT. Sang Guru memberikan kriteria mangsa yang harus dihabisi, yaitu mangsa itu suka mengkritisi sang guru, menentang kebijakan yang dibuat oleh sang guru. Untuk lebih mengintensifkan kriteria tersebut, sang guru mengerahkan anjing-anjing peliharaannya melacah mangsa yang memenuhi kriteria tersebut. Maklumlah anjing seekor binatang yang memiliki penciuman yang tajam, tidak sulit menemukan mangsa itu, kemudian para anjing-anjing itu memberikan laporan kepada sang guru bahwa mangsa yang dicari telah ditemukan. Sang guru bersama anjing-anjing peliharaannya mengadakan ritual lagi agar tindakan mereka jangan sampai diketahui orang lain, dengan kata lain jangan omong-omong dengan orang, hanya kita saja yang tau.

Berdasarkan laporan bahwa tempat yang ada mangsanya atau akan di lewati mangsa yang memenuhi kriteria di atas adalah di suatu tempat yang bernama "BLOU". Tempat ini letaknya jauh dari desaEputobi, akan tetapi masih dapat dijangkau, karena sang guru memiliki ilmu sihir, ilmu siluman walaupun gelap, jauh dapat ditempuh dalam waktu yang singkat. Di antara mereka terjadi komunikasi jarak jauh dengan menggunakan kekuatan supranatura, telepati. Mengapa menggunakan telepati, ya kita tau saja sang guru berada di tempat yang jauh dan menghindari alat deteksi dari astronout di ruang angkasa. Mengingat bahwa satelit mata-mata sudah berada di antara Ile Muda , Lewohari, dan Wolomeang. Dengan menggunakan telepati operasi mereka tidak terdeteksi, dan dilancarkan aksi pada malam hari karena sang mangsa lewatnya pada malam hari melintasi tempat tersebut di atas. Di Blou generasi gelap mulai beraksi, karena memang kebingunan tidak mendapat burung yang biasa dibedil, dikira burung kakatua, tau-tau burung elang. Dalam situasi demikiian sang burung elang sebelum dihabisi sempat memberikan perlawanan dengan mengeluarkan jurus pamungkasnya yaitu jurus mencakar langit, sehingga para gnerasi gelap yang menghadangnya pun mendapat cakaran. Oleh karena malu karena dicakar, merekapun menggunakan topeng silmunan kemana pun mereka pergi sehingga tidak diketahui oleh masyarakat. Itulah kisah terjadinya insiden BLOU berdarah.

Berbicara apakah mereka terlibat atau tidak, mau mencari bukti ketidak terlibatan mereka mudah saja. Mereka sebelumnya sudah mengadakan ritual yang dipimpin oleh sang guru agar tindakan mereka tidak diketahui orang, dan bukti berikutnya adalah berdiam diri. Teknik berdiam diri adalah salah jurus pembuktian yang menjurus kepadad keterlibatan atau tidak. Biasanya fenomena berdiam diri, tandanya mengiakan, tetapi juga berdiam diri menandakan tidak. Seharusnya para terindikasi menunjukkan bahwa berdiam diri itu menandakan bahwa mereka tidak terlibat.Dan para pendukung atau suporternya pun memberikan penjelasan agar publik mengetahui bahwa mereka betul-betul tidak terlibat. Kasihan, dalam situasi demikian sang guru terus diombang-ambingkan, padahal belum tentu dilakukan sendirian, tapi ada kesepakatan dengan sang maha guru. Jadi sang guru kecil jangan sampai mati konyol sendirian lebih baik mengatakan yang sebenarnya, sehingga mungkin sekali sang maha guru juga akan terseret ramai-ramai ke depan pengadilan. Bukannya demikian??

Untuk apa lagi kita mencari bukti, kan sudah ada bukti yang jelas berupa alat yang digunakan, maupun fenomena berdiam diri itu. Toh, sang elang yang dihabisi tidak berdiam diri di alam sana, ia terus bersuara, karena sang elang memiliki penciuman yang tajam, dapat mendeteksi tangan-tangan yang masih berlumuran darah. Kita tinggal menunggu waktunya. SALAM GRESITULI.

Kamis, 21 Mei 2009

DI ANTARA KONFLIK DAN GEMBIRA

Malang. Selama perjalanan dari kota Kediri tempat saya bertugas tetap menuju kota Malang tempat saya memberi kuliah ada dua hal yang terus menggoda pikiran saya yaitu "konflik di lewotana" dan "Perayaan Pesta Perak saudaraku sebagai Imam". Di satu sisi saya merenung mencari solusi untuk penyelesaian konflik yang sudah sekian lama dan di sisi lain saya merasa gembira karena di tengah situasi demikian masih ada secercah senyum muncul di wajah saya. Setiba di kota Malang saya mampir ke warnet untuk menuangkan apa yang saya pikirkan selama perjalanan tadi dalam satu tulisan yang saya beri judul"DIANTARA KONFLIK DAN GEMBIRA".

Konflik di lewotana adalah dampak dari peristiwa yang terjadi di suatu tempat yang bernama "BLOU". Tempat berawalnya konflik. Konflik pertama yang dihadapi generasi muda lewoingu di tempat itu adalah melakukan tindakan yang wajar atau tidak wajar. Mereka berada dalam dua kondisi batin menghadapi seorang yang sesama anak lewoatana yaitu Yoakim Gresitulis Ata Maran. Dalam situasi demikian mereka sudah berada dalam situasi yang gelap sehingga tindakan yang mereka lakukan adalah tindakan yang tidak wajar, maklumlah manusia gelap ya bertindak demikian. Tindakan yang tidak wajar ini tidak saja begitu muncul dengan tiba-tiba, tetapi pasti melalui suatu proses. Proses itu diawali dengan suatu diskusi untuk menghadapi anak terang. Karena di sini sudah masuk dalam konteks anak gelap dan anak terang. Anak-anak gelap mulai menemukan tindak yang ampuh yaitu "membunuh". Kata ini muncul dan terpatri dalam otak anak-anak gelap dan langkah selanjutnya merencanakan operasi di lapangan. Semua yang dilakukan ini tentu diotaki atau diarsitek oleh orang yang super gelap(bukan superman). Operasi di lapangan dipilih waktu yang tepat yaitu pada malam hari, begitu jelihnya kerja para detektif tengik ini. Karena begitu rapih dan jelih membuat para reserses Polres Flores Timur sulit menemukan jejak mereka, maklum anak gelap alias siluman.

Dari konflik batin tersebut di atas, mereka tetap melakukan apa yang telah direncanakan. Hasil dari tindakan mereka itu adalah kematian Yoakim Ata Maran. Semua anggota masyarakat bersama perangkat desa Lewoingu seharusnya berusaha dan bekerja keras untuk menemukan siapa pelaku pembunuhan itu. Seandainya langkah ini ditempuh, pasti tidak menimbulkan konflik di lewotana. Seharusnya bersama dengan keluarga korban membantu petugas kepolisian untuk mencari dan menemukan barang-barang bukti sampai pada pelaku pembunuhan. Kalau ditarik lebih jauh ke belakang, sesuai dengan penjelasan P.Paulus dalam tulisan di buku tamu eputobi.net bahwa konflik itu terjadi jauh sebelum peristiwa Blou yang berhubungan dengan pemilihan pimpinan desa. Bertitik tolak dari pengalaman P.Paulus yang dituangkan dalam tulisan di buku tamu eputobi.net, apa yang saya kemukan di atas tidak jauh dari kebenaran bahwa peristiwa Blou itu memang sudah direncanakan dengan matang tinggal menunggu waktu yang tepat. Dari fenomena ini semestinya seorang reserse memulai melakukan tugasnya secara profesional terlepas dari pengaruh pihak manapun.

Fenomena yang tampak di lewotana bukannya membantu mencari pelaku pembunuhan terhadap Yoakim Ata Maran, malahan sebaliknya mengadakan intimidasi dan provokasi sehingga masyarakat Lewoingu terpecah menjadi kelompok yang pro terhadap usaha membantu kepolisian mencari pelaku pembunuhan dan kelompok yang pro terhadap kades Lewoingu berusaha dengan kemauan sang guru bahwa kades bukan pelakunya. Di sini berlaku proses pembelajaran mangguk-mangguk seperti dikemukakan oleh Opu Don Kumanireng. Warga masyarakat yang tidak mau manggung akan dikenai sanksi. Proses ini seperti pada jaman dulu waktu saya duduk di bangku SD, SMP, kalau guru memberi pelajaran, semua siswa harus mangguk-mangguk apa itu ia mengerti atau tidak, jangan menentang, kalau menentang alias tidak mangguk pasti mendapat "tenepa" (dalam bahasa Indonesia kena tempelang). Kondisi ini juga berlaku dalam masyarakat Lewoingu yang pro kadesnya. Yang menentang pasti mendapat ganjaran berupa dicekik atau ditempeleng, dan sudah ada buktinya yaitu salah bicara bagaimana akhirnya Sdr.Ma Kumanireng melepaskan jurus pamungkasnya yaitu mencekik/menempeleng sesama warga Lewoingu. Buah dari tindakan ini akhirnya Sdr.Ma Kumanireng harus berusun dengan pihak kepolisian Flores Timur. Konflik lewotana sampai saat ini belum diselesaikan, dan seandainya pelaku pembunuhan memang benar-benar orang Lewoingu sendiri mengaku perbuatannya pasti perdamaian dapat terwujud. Mari tunjukkan sikap jantan, jangan menunjukkan kejantanan di tempat gelap-gelap, tapi di tempat terang disaksikan oleh masyarakat umum.

Walaupun lewotana dalam kondisi konflik demikian, bukannya kita lari dari situasi demikian. Kita sesama generasi Lewoingu baik di kampung maupun di tempat jauh menerima keadaan ini dengan lapang dada, itulah suatu kelemahan yang terjadid di lewotana seperti dikemukakan oleh P.Paulus. Hidup ini ada jatuh bangunnya, kadang-kadang kita berada dalam situasi konflik dan kadang-kadang kita berada dalam situasi kegembiraan. Situasi kegembiraan akan muncul di lewotana dalam waktu dekat ini. Pada tanggal 2 Juni 2009 semua masyarakat Lewoingu, tidak semua, pasti tertawa ria, menari berjingkrak-jingkrak karena memperoleh kegembiraan dengan hadirnya P.Kondrad,SVD putra terbaik Lewoingu merayakan 25 tahun hidup sebagai Imam. Kecuali saya adiknya tidak sempat hadir dalam situasi yang gembira itu, saya sedih, menangis meratapi situasi lewotana, sedih karena tidak hadir berssama keluarga lain menampingi saudaraku menikmati kegembiraan atas rahmat Tuhan. Tidak apalah, begitulah hidup, saya ikut gembira dengan doa dari jauh.

Kembali ke situasi gembira, masyarakat Lewoingu seharusnya merasa bersyukur dan berterima kasih, walaupun di tengah kesibukan beliah, ia masih memikirkan kemajuan lewotana. Ia dengan senang memberikan pelayanan, berkarya terbaik untuk sesama lewotana, muncul pertanyaan"apa yang harus kita balas semuanya itu?? Apakah konflik lewotana sebagai ucapan terima kasih kepada beliau?? Ia tidak mengharap dan membutuhkan apa-apa dari masyarakat lewotana, namun hanya satu ia merasa puas adalah hasil karyanya dapat dinikmati oleh generasi penerus Lewoingu. Ia tetap hidup dalam kesederhanaan sejak kecil sampai sekarang, itu yang saya tahu karena saya adiknya lebih banyak mengetahui P.Kondrad.SVD.

Suatu konflik pasti diakhiri dengan cara-cara baik yang akan memberikan ketentraman lewotana. Jika konflik di lewotana akan berakhir apabila semua pihak menyadari betapa pentiangnya kebersamaan. Kebersamaan telah dibangun oleh nenek moyang kita, seharusnya kita generasi kemudian terus melestarikan. Kesadaran pertama muncul dari oknum-oknum yang terlibat dalam peristiwa Blou, memberikan kesaksian baik secara adat maupun secara agama, dan hukum pasti jalan terus. Pada hari yang bahagian itu, seandainya pelaku pembunuhan Yoakim Ata Maran mendapat bisikan suara malaikat untuk mengatakan sebenarnya, saya orang yang pertama mengacung jempol dan terus memberikan dorongan moril kepada para pelaku untuk tetap tabah dalam menghadapi semua tuntutan hukum. Bagaimana kita selesaikan konflik lewotana secara adat dan gereja, setuju?? Trims. SALAM GRESIKTULI.


Rabu, 20 Mei 2009

MENYIKAPI TULISAN P..PAULUS

Membaca pengalaman tentang keadaan di lewotana dari P.Paulus Lubur, kami sebagai kaka aring baik di pihak Ata Maran maupun di pihak Kades Lewoingu menyikapinya dengan beberapa pandangan seperti berikut ini.


Pertama, menurut P.Paulus sebelum terjadi peristiwa BLOU sudah ada gesekan yang berkaitan dengan pemilihan pimpinan lewotana. Perbedaan pandangan atau gesekan yang terjadi pada waktu itu sudah disikapi oleh adik-adik yang duduk dalam perangkat desa Lewoingu dengan langkah mengundurkan diri dari jabata mereka. Pengunduran diri mereka itu juga bukan tidak ada sebab, pasti ada namun sikap yang telah ditunjukkan oleh adik-adik di lewotana seperti tersebut di atas menunjukkan bahwa mereka masih menjaga keutuhan dan persatuan lewotana. Sikap demikian dalam pandangan kami sebagai kaka aring sangat logis, dan bagaimana dengan pandangan P.Paulus sebagai seorang putra kelahiran Lewoingu dan berstatus "imam".? Bukannya peristiwa "BLOU" itu yang menjadi faktor utama perpecahan di lewotana,. namun mungkin para intelektual awam asal Lewoingulah yang menciptakan kondisi demikian. Setelah menciptakan kondisi masyarakat lewotana semrawut kemudian berpura-pura bertindak atau bersikap sok membela dan ingin membantu menciptakan perdamaian lewotana. Para intelektual awam Lewoingu perlu merefleksi kembali dan jangan membiarkan keadaan lewotana tidak tentram dan ada blok-blokan.

Kedua,perbedaan pandangan diantara mereka di lewotana merupakan hal yang wajar dan itu adalah konsekuensi logis dari masyarakat yang demokrasi. Masyarakat demokrasi bukan baru kita ketahui sekarang ini, tetapi sudah jauh sebelum itu nenek moyang kita sudah menciptakan sikap demokrasi dalam memilih seorang pemimpin lewotana. Seorang pemimpin lewotana yang dipilih memenuhi persyaratan antara lain mampu melindungi anggota masyarakat yang dipimpinnya, bersikap jujur, menjadi panutan masyarakat. Kembali kepada situasi di lewotana saat ini apakah mereka (adik-adik) yang mengundurkan diri dari perangkat desa Lewoingu yang menciptakan ketidak tentraman ataukah kepala desanya sendiri yang menciptakan konflik di antaraa mereka dengan berdalil tidak mematuhi keputusan atau kebijakan-kebijakan atasan/kepala desa. Sikap kades demikian mendapat dukungan dari para premang-premang intelektual lewotana. Dengaan dukungan demikian mereka mulai mempengaruhi sebagian masyarakat lewoingu untuk mengikutinya dengan konsep memberikan bantuan berupa bantuan beras miskin (raaskin). Masyarakat kita yang nota bene manggug-manggug saja karena gurunya telah mengajarkan demikian jangan menentang kalau menentang mendapat "tenepa" alias tempeleng sehingga mereka tidak tau bahwa raskin itu adalah program pemerintah, bukannya raskin itu program dari kades Lewoingu. Konsep pengelabuhan demikian akhirnya menciptakan sekelompok masyarakat yang terus pro kepada kades karena kades telah berjasa bagi lewotana lewas program raskin.

Ketiga,permintaan Ipa Zefrinus Lewoema merupakan sentuhan hatinurani kita sebagai putra-putra Lewoingu agar kita terus berjuang mencari kebenaran dan keadilan. Sentuhan hatinurani ini dengan maksud agar peristiwa "BLOU" jangan sampai dipetieskan, lenyap begitu saja. Tetapi dengan terus mengadakan diskusi di antara kita para penegak hukum akan sadar bahwa mereka masih mempunyai PR yang segera diselesaikan. Sudah ada indikasi bahwa Kades Lewoingu terlibat dalam peristiwa "BLOU" dan sempat menjadi tahan Polda Kupang. Semestinya dari pihak yang membela kades Lewoingu memberikan penjelasan kepada masyarakat tentang status kades yang berkaitan peristiwa "BLOU" termasuk Pengacara. Pengacara adik Mikael memberikan penjelasan kepada publik tentang status kliennya, sehingga publik mengetahui dan tidak berprasangka yang bukan-bukan. Kalau tidak ada penjelasan dan hanya berdiam diri, masyarakat Lewoingu tetap "beranggapan" bahwa kades Lewoingu terlibat dalam peristiwa "BLOU". Dalam kondisi demikian P.Paulus semestinya ikut memberikan masukan kepada kades agar dapat mengatakan yang benar dan mengatakan tidak kalau tidak terlibat. Kalau suara imam pasti didengar apalagi adik kandung kades Lewoingu adalah imam. Kalau suara kami awam pasti dinilai memihak pada salah satu pihak. Apakah selama ini P.Paulus dan adik kandung kades Lewoingu juga memikirkan keluarga Ata Maran dan bersama mereka mencari kebenaran keadilan??? Pertanyaan ini harap dijawab dalam hati saja tidak usah omong-omong dengan orang lain.

Keempat, adanya blok-blok itu mungkin diciptakan oleh kades Lewoingu sendiri. Dia bersama dengan para pendukungnya mengadakan intimidasi, provokasi kepada sebagian masyarakat untuk mengikuti pengaruh mereka. Mereka berusaha mencari kambing hitam dengan berpura-pura membantu pihak kepolisian Flores Timur. Tindakan ini sangat lucu, namun tindakan lucu ini merupakan adegan sandiwara yang ditampilkan oleh kades Lewoingu bersama dengan komplotannya. Semestinya kades Lewoingu menciptakan situasi lewotana yang tentram dan menunjukkan sikap kepada masyarakat bahwa kades tidak terlibat dalam peristiwa"BLOU".


Kelima, apakah P.Paulus sudah duduk bersama dengan masyarakat Lewoingu membahas konflik tersebut. Atau jangan-jangan tulisan P.Paulus ini sebagai topeng saja, sebenarnya memihak pada Kades Lewoingu. Sikap P.Paulus ini perlu dipertanyakan. Kalau sampai bersikap demikian, saya secara pribadi sangat menyesal bahwa di balik juba putih pribadi manusianya masih dominan.

Keenam, Adik Mikael menjadi kades Lewoingu karena mendapat dukungan suara dari Riang Duli yang masih menjadi satu dengan Eputobi. Sedangkan masyarakat Eputobi tidak mendukung adik Mikael utk menduduki kursi kades periode yang kedua. Setelah Riang Duli secara administraatif berdiri sendiri sebagai desa lepas dari Eputobi, mestinya kades berpikir ulang untuk menciptakan komunikasi baik dengan pihak-pihak yang sebelumnya tidak mendukungnya. Kalau seorang pimpinan tidak mendapat legitimasi dari rakyatnya, ia hanya sebuah boneka. Dengan adanya peristiwa "BLOU" kades tidak mendapat legitimasi lagi dari masyarakat Lewoingu hanya sebagian kecil, ditambah lagi dengan pernah berstatus sebagai tahanan Polda Kupang. Semestinya Bupati Flores Timur tidak mengaktifkan kembali Sdr.Mikael sebagai kades Lewoingu karena masih bermasalah dengan peristiwa "BLOU". Dengan pengaktifan kembali kades menciptakan situasi yang lebih rumit lagi di Lewoingu, peristiwa tidak secara langsung ikut andil menciptakan konflik di tengah masyarakat Lewoingu.

Dari enam point yang dikemukakan di atas, semoga para imam yang berasal dari Lewoingu secara bersama duduk dengan masyarakat Lewoingu menciptakan perdamaian dalam rangka menyambut hari bersejarah, yaitu Pesta Perak seorang imam kelahiran Lewoingu. Dengan perdamaian tersebut kita mengucapkan rasa syukur kita kepada Tuhan bahwa lewotana tana kita yang memiliki kekurangan tetapi Tuhan masih berkenan memilih salah seorang putra terbaik menjadi imam. Dari Kediri, kami mengucapkan Selamat dan Bahagia bagi saudaraku P.Kondrad SVD dalam merayakan 25 tahun hidup sebagai seorang imam.

Selasa, 19 Mei 2009

EPUTOBI

Kata Eputobi tidak asing lagi bagi masyarakat Lewoingu. Eputobi merupakan nama desa yang terletak di wilayah kecamatan Titehena, kabupaten Flores Timur. Nama desa Eputobi kemudian berubah menjadi desa Lewoingu. Kata Eputobi mengandung dua kata lagi yaitu "epu" artinya tempat orang berkumpul setelah iris tuak, dan "tobi" pohon asam. Di bawah pohon asam ini mereka berkumpul, sehingga kemudian diberi nama "Eputobi". Memang pada waktu itu di tengah desa Eputobi tumbuh dua pohon asam, salah satu pohon tersebut tumbang sekitar tahun 1998, tinggal satu pohon apakah masih hidup atau sudah tumbang. Seandainya dulu nenek moyang orang Lewoingu berkumpul di bawah pohon beringin (dalam bahasa daera "bao") mereka akan memberi nama desa epubao. Terlepas dari pemaknaan kata tersebut, lewat tulisan ini ingin saya menyoroti kata "eputobi" dari aspek sosial budaya, politik dan ekonomi.
ASPEK SOSIAL BUDAYA. Secara sosial berkumpulnya nenek moyang orang Lewoingu tersebut telah membentuk suatu tatananan masyarakat yang hidup menetap. Di "epu" ini mereka saling berinteraski antara anggota kelompok setelah iris tuak. Dengan kebersamaan ini tumbuh nilai gotong royong, rasa solidaaritas kelompok yang begitu kuat, karena mereka berasal dari satu latar belakang kehidupan yang sama. Lewat kebersamaan itu mereka mulai menciptakan alat-alat untuk menunjang aktivitas mereka seperti alat-alat untuk iris tuak, cara memasang/menyuling tuak menjadi arak, dan alat-alat untuk berburu. Untuk membantu menjaga "epu" mereka memelihara anjing, dan anjing juga membantu mereka pada waktu berburu. Nenek moyang orang Lewoingu telah mengenal musim mulai membuka ladang, musim tanam dan musim panen. Semua itu ditentukan berdasarkan pada letak bintang.
ASPEK POLITIK. Setelah mereka menetap di "epu" dalam jumlah yang besar, mereka mulai memikirkan mencari seorang sebagai pemimpin mereka. Pemimpin yang dicari tentunya berasal dari Ata Kebelen Raya", karena di samping sebagai pemimpin, ia juga bertindak sebagai pemimpin upacara adat. Dari cara demikian kemudian mulai muncul kesadaraan masyarakat pemula secara demokrasi memiliki pemimpin mereka yang berasal dari Ata Kebelen Raya atau tokoh Adat. Sistem demokrasi tumbuh karena didasari oleh nilai gotong royong. Pemimpin yang dipilih memenuhi persyaratan antara lain mampu melindungi anggota masyarakat, menjadi panutan anggota masyarakat, berbudi luhur yang hampir mendekati persyaratan seorang pemimpin saat ini. Mereka secara bersama-sama mengadakan rapat untuk memutuskan wilayah mana akan dijadikan ladang.
ASPEK EKONOMI. Nenek moyang orang Lewoingu bermata pencaharian berlandang, iris tuak dan berburu. Mereka juga memelihara ternak. Di "epu" ini mereka memasak tua/menyuling arak secara bersama-sama. Di "epu" ini mereka juga memelihara ternak, seperti memelihara kambing, babi, dan anjing sebagai pengawal setia. Hasil ladang seperti jagung, padi, sorgum, jewawut dan kacang-kacangan. Mereka juga sudah mulai berjual di pasar tradisional dengan cara sistem barter, yaitu jagung ditukar dengan garam, ikan dengan padi dan seterusnya.
Namun demikian makna yang terkandung dalam kata "Eputobi" mulai redup sejalan dengan perkembangan pola hidup masyarakat Lewoingu. Hal ini dapat dimaklumi karena mereka mulai merubah pola hidup berladang menetap dengan menanam tanaman jangka panjang seperti kemiri, jambu mente, kakao. Dari aspek sosial, nilai kebersamaan mulai luntur karena ulah dari generasi Lewoingu sekarang ini. Mereka sudah melupkan nilai kebersamaan, kehancurannya diakibatkan oleh rasa ingin berkuasa, menunjukkan keunggulan suku-sukunya, lupa akan kebersamaan. Kepemimpinan bukan lagi melindungi anggota masyarakat, tetapi menjadi faktor terjadinya kelompok-kelompok, blok-blokan di lewotana. Timbul pertanyaan dimana rasa mewarisi nilai-nilai yang telah ditata oleh nenek moyang Lewoingu tempo dulu? Walaupun situasinya demikian, kita tidak boleh putus asa, terus berusaha untuk menciptakan lewotana yang tentram, damai, menunjunjung nilai-nilai yang telah dibangun oleh nenek moyang kita tempo dulu. SEMOGA, dan SALAM GRESITULI buat saudara-saudaraku seketurunan Gresituli di mana pun anda berada.

Jumat, 08 Mei 2009

SMA TITEHENA YANG UNGGUL

Menjadi sekolah yang unggul tidak saja seperti membalik telapak tangan. Membutuhkan suatu perjuangan baik dari Yayasan pengelola sekolah itu, guru, orang tua murid, siswa dan masyarakat sekitarnya. SMA Titehena sebagai salah satu sekolah swasta di Kecamatan Titehena ke depan terus bersaing dengan sekolah swasta maupun sekolah negeri yang berada di kabupaten Flores Timur. Dalam bersaing dengan sekolah yang lain ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dan dikembangkan. Hal-hal yang dimaksud antara lain:

Pertama, Yayasan pengelola sekolah membuat rencana kerja untuk jangka pendek, dan jangka panjang sehingga sekolah ini tetap eksist. Untuk ini yayasan perlu memperhatikan sumber dana, menyediakan sarana dan prasarana, bekerja sama dengan pihak orang tua murid, masyarakat dan pemerintah setempat. Di samping itu kerja sama dengan pihak lain yang mempunyai kepedulian terhadap pendidikan. Rencana kerja, pengembangan sekolah yang dibuat yayasan tetap mengacu pada peraturan Mendikbud, Diknas Kabupaten Flores Timur, dan ada kerja sama antar sesama yayasan pengelola pendidikan swasta di wilayah kabupaten Flores Timur. Dalam merekrut guru perlu diperhatikan kelayakan paling tidak memiliki Pendidikan Tinggi (S1) sesuai dengan mata pelajaran yang akan diampuhnya. Sebagai salah satu contoh pada waktu kami bertugas di Timor Leste. Kami mendirikan SMA Katolik St.Maria yang berlokasi di Kabupaten Ainaro. Waktu itu kami merekrut guru-guru yang berijasah S1 sesuai dengan mata pelajaran yang diampuh. Dengan cara demikian dalam tiga tahun SMA Katolik St.Maria Ainaro sudah bersaing dengan sekolah swasta di Propinsi Timor Timur, bersaing dengan sekolah negeri. Di samping itu lebih jauh lagi dengan prestasi tersebut, guru-guru SMA Katolik St.Maria banyak atau hampir semuanya sudah diangkat sebagai guru-guru negeri.

Kedua, pihak orang tua murid juga ikut memikirkan dan mengembangkan SMA Titehena, dengan membentuk Komite Sekolah. Komite sekolah bekerja sama dengan pihak sekolah dalam hal mencari dana, mengadakan monitoring terhadap perkembangan sekolah, ikut melaksanakan program -program yang telah disusun bersama sekolah dan pihak komite sekolah. Komite sekolah juga ikut memikirkan kebutuhan apa yang perlu dan harus disediakan dalam rangka pengembangan sekolah ke depan. Tanpa adanya bantuan Komite Sekolah, sekolah akan mengalami sedikit hambatan dalam usaha meningkatkan mutu pendidikan sebagai harapan dari semua pihak. Pihak orang tua juga terus mengadakan konsultasi tentang perkembangan pendidikan putra-putrinya, agar mereka (orang tua murid) juga ikut bertanggungjawab dalam pendidikan putra-putri mereka.

Ketiga, Guru-guru yang mengajar di SMA Titehena paling tidak memilik kelayakan yaitu berpendidikan S1 yang relevan. Jangan hanya sekedar memasang guru untuk mengajar (maaf) karena ini berhubung dengan akreditasi sekolah swasta menjadi sekolah unggulan atau sekolah swasta yang berjalan di tempat. Dengan pendidikan yang relevan, guru tersebut akan memberikan materi pelajar tidak sekedar memberi tetapi telah menguasai kurikulum dan materi yang diberikan paling tidak akan mengantar peserta didik menguasai ilmu pengetahuan baik secara teori maupun praktik menuju masa depan mereka. Kepala sekolah terus mengadakan supervisi terhadap guru dalam mempersiapkan perangkat mengajar, menyajikan materi pembelajaran dan mengadakan ulangan secara berkesinambungan. Hasil ulangan dilaporan kepada orang tua murid sebagai salah satu bentuk pertanggungjawaban guru. Di samping itu guru harus memiliki disiplin yang tinggi, agar siswa dapat berdisiplin. Dengan disiplin yang tinggi, prestasi sekolah dapat dicapai.

Keempat, pihak peserta didik. Kebanyakan peserta didik berasal dari latar belakang keluarga petani. Potensi yang dimiliki peserta didik juga berbeda, dengan perbedaan potensi ini dalam proses pembelajaran perlu memperhatikan perkembangan secara individu. Memang kegiatan belajar mengajar masih menggunakan sistem klasikal, sehingga perkembangan peserta didik secara individu kurang terpantau dan diperhatikan. Tidak semua peserta didik dari SMA Titehena setelah lulus akan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, untuk ini perlu dikembangkan ketrampilan-ketrampilan yang kelak dapat dikembangkan oleh mereka sebagi suatu pekerjaan yang menopang hidup mereka.

Ini hanya suatu masukan saja berdasarkan pengalaman kami waktu mendirikan dan mengembangkan SMA Katolik ST.Maria di Timor Leste, maaf kami tidak menggurui, semua atau apa yang kami kemukakan di atas sudah diketahui semua dan sudah dalam konsep pengelola sekolah, guru dan kepala sekolah. Jika berkenan kami mohon tanggapan agar kita dapat berdiskusi lebih lanjut, dan kami juga bersedia memberikan sesuatu yang mungkin bermanfaat dan mungkin tidak, tapi hanya satu tekad demi kemajuan SMA Titehena, kami tidak memiliki apa-apa hanya talenta yang diberikan Tuhan dan tanlenta ini kami coba mengembangkan. SEMOGA11