Kamis, 21 Mei 2009

DI ANTARA KONFLIK DAN GEMBIRA

Malang. Selama perjalanan dari kota Kediri tempat saya bertugas tetap menuju kota Malang tempat saya memberi kuliah ada dua hal yang terus menggoda pikiran saya yaitu "konflik di lewotana" dan "Perayaan Pesta Perak saudaraku sebagai Imam". Di satu sisi saya merenung mencari solusi untuk penyelesaian konflik yang sudah sekian lama dan di sisi lain saya merasa gembira karena di tengah situasi demikian masih ada secercah senyum muncul di wajah saya. Setiba di kota Malang saya mampir ke warnet untuk menuangkan apa yang saya pikirkan selama perjalanan tadi dalam satu tulisan yang saya beri judul"DIANTARA KONFLIK DAN GEMBIRA".

Konflik di lewotana adalah dampak dari peristiwa yang terjadi di suatu tempat yang bernama "BLOU". Tempat berawalnya konflik. Konflik pertama yang dihadapi generasi muda lewoingu di tempat itu adalah melakukan tindakan yang wajar atau tidak wajar. Mereka berada dalam dua kondisi batin menghadapi seorang yang sesama anak lewoatana yaitu Yoakim Gresitulis Ata Maran. Dalam situasi demikian mereka sudah berada dalam situasi yang gelap sehingga tindakan yang mereka lakukan adalah tindakan yang tidak wajar, maklumlah manusia gelap ya bertindak demikian. Tindakan yang tidak wajar ini tidak saja begitu muncul dengan tiba-tiba, tetapi pasti melalui suatu proses. Proses itu diawali dengan suatu diskusi untuk menghadapi anak terang. Karena di sini sudah masuk dalam konteks anak gelap dan anak terang. Anak-anak gelap mulai menemukan tindak yang ampuh yaitu "membunuh". Kata ini muncul dan terpatri dalam otak anak-anak gelap dan langkah selanjutnya merencanakan operasi di lapangan. Semua yang dilakukan ini tentu diotaki atau diarsitek oleh orang yang super gelap(bukan superman). Operasi di lapangan dipilih waktu yang tepat yaitu pada malam hari, begitu jelihnya kerja para detektif tengik ini. Karena begitu rapih dan jelih membuat para reserses Polres Flores Timur sulit menemukan jejak mereka, maklum anak gelap alias siluman.

Dari konflik batin tersebut di atas, mereka tetap melakukan apa yang telah direncanakan. Hasil dari tindakan mereka itu adalah kematian Yoakim Ata Maran. Semua anggota masyarakat bersama perangkat desa Lewoingu seharusnya berusaha dan bekerja keras untuk menemukan siapa pelaku pembunuhan itu. Seandainya langkah ini ditempuh, pasti tidak menimbulkan konflik di lewotana. Seharusnya bersama dengan keluarga korban membantu petugas kepolisian untuk mencari dan menemukan barang-barang bukti sampai pada pelaku pembunuhan. Kalau ditarik lebih jauh ke belakang, sesuai dengan penjelasan P.Paulus dalam tulisan di buku tamu eputobi.net bahwa konflik itu terjadi jauh sebelum peristiwa Blou yang berhubungan dengan pemilihan pimpinan desa. Bertitik tolak dari pengalaman P.Paulus yang dituangkan dalam tulisan di buku tamu eputobi.net, apa yang saya kemukan di atas tidak jauh dari kebenaran bahwa peristiwa Blou itu memang sudah direncanakan dengan matang tinggal menunggu waktu yang tepat. Dari fenomena ini semestinya seorang reserse memulai melakukan tugasnya secara profesional terlepas dari pengaruh pihak manapun.

Fenomena yang tampak di lewotana bukannya membantu mencari pelaku pembunuhan terhadap Yoakim Ata Maran, malahan sebaliknya mengadakan intimidasi dan provokasi sehingga masyarakat Lewoingu terpecah menjadi kelompok yang pro terhadap usaha membantu kepolisian mencari pelaku pembunuhan dan kelompok yang pro terhadap kades Lewoingu berusaha dengan kemauan sang guru bahwa kades bukan pelakunya. Di sini berlaku proses pembelajaran mangguk-mangguk seperti dikemukakan oleh Opu Don Kumanireng. Warga masyarakat yang tidak mau manggung akan dikenai sanksi. Proses ini seperti pada jaman dulu waktu saya duduk di bangku SD, SMP, kalau guru memberi pelajaran, semua siswa harus mangguk-mangguk apa itu ia mengerti atau tidak, jangan menentang, kalau menentang alias tidak mangguk pasti mendapat "tenepa" (dalam bahasa Indonesia kena tempelang). Kondisi ini juga berlaku dalam masyarakat Lewoingu yang pro kadesnya. Yang menentang pasti mendapat ganjaran berupa dicekik atau ditempeleng, dan sudah ada buktinya yaitu salah bicara bagaimana akhirnya Sdr.Ma Kumanireng melepaskan jurus pamungkasnya yaitu mencekik/menempeleng sesama warga Lewoingu. Buah dari tindakan ini akhirnya Sdr.Ma Kumanireng harus berusun dengan pihak kepolisian Flores Timur. Konflik lewotana sampai saat ini belum diselesaikan, dan seandainya pelaku pembunuhan memang benar-benar orang Lewoingu sendiri mengaku perbuatannya pasti perdamaian dapat terwujud. Mari tunjukkan sikap jantan, jangan menunjukkan kejantanan di tempat gelap-gelap, tapi di tempat terang disaksikan oleh masyarakat umum.

Walaupun lewotana dalam kondisi konflik demikian, bukannya kita lari dari situasi demikian. Kita sesama generasi Lewoingu baik di kampung maupun di tempat jauh menerima keadaan ini dengan lapang dada, itulah suatu kelemahan yang terjadid di lewotana seperti dikemukakan oleh P.Paulus. Hidup ini ada jatuh bangunnya, kadang-kadang kita berada dalam situasi konflik dan kadang-kadang kita berada dalam situasi kegembiraan. Situasi kegembiraan akan muncul di lewotana dalam waktu dekat ini. Pada tanggal 2 Juni 2009 semua masyarakat Lewoingu, tidak semua, pasti tertawa ria, menari berjingkrak-jingkrak karena memperoleh kegembiraan dengan hadirnya P.Kondrad,SVD putra terbaik Lewoingu merayakan 25 tahun hidup sebagai Imam. Kecuali saya adiknya tidak sempat hadir dalam situasi yang gembira itu, saya sedih, menangis meratapi situasi lewotana, sedih karena tidak hadir berssama keluarga lain menampingi saudaraku menikmati kegembiraan atas rahmat Tuhan. Tidak apalah, begitulah hidup, saya ikut gembira dengan doa dari jauh.

Kembali ke situasi gembira, masyarakat Lewoingu seharusnya merasa bersyukur dan berterima kasih, walaupun di tengah kesibukan beliah, ia masih memikirkan kemajuan lewotana. Ia dengan senang memberikan pelayanan, berkarya terbaik untuk sesama lewotana, muncul pertanyaan"apa yang harus kita balas semuanya itu?? Apakah konflik lewotana sebagai ucapan terima kasih kepada beliau?? Ia tidak mengharap dan membutuhkan apa-apa dari masyarakat lewotana, namun hanya satu ia merasa puas adalah hasil karyanya dapat dinikmati oleh generasi penerus Lewoingu. Ia tetap hidup dalam kesederhanaan sejak kecil sampai sekarang, itu yang saya tahu karena saya adiknya lebih banyak mengetahui P.Kondrad.SVD.

Suatu konflik pasti diakhiri dengan cara-cara baik yang akan memberikan ketentraman lewotana. Jika konflik di lewotana akan berakhir apabila semua pihak menyadari betapa pentiangnya kebersamaan. Kebersamaan telah dibangun oleh nenek moyang kita, seharusnya kita generasi kemudian terus melestarikan. Kesadaran pertama muncul dari oknum-oknum yang terlibat dalam peristiwa Blou, memberikan kesaksian baik secara adat maupun secara agama, dan hukum pasti jalan terus. Pada hari yang bahagian itu, seandainya pelaku pembunuhan Yoakim Ata Maran mendapat bisikan suara malaikat untuk mengatakan sebenarnya, saya orang yang pertama mengacung jempol dan terus memberikan dorongan moril kepada para pelaku untuk tetap tabah dalam menghadapi semua tuntutan hukum. Bagaimana kita selesaikan konflik lewotana secara adat dan gereja, setuju?? Trims. SALAM GRESIKTULI.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar