Jumat, 22 Mei 2009

MUSNAHNYA SATWA DI LEWOTANA

Sewaktu saya masih kecil dan tinggal di tepi jalan raya jurusan Larantuka - Maumere, ada sebuah pohon besar tumbuh di tepi jalan raya. Setiap pagi saya menyaksikan begitu banyak burung yang terbang duduk-duduk di dahan dan ranting pohon besar itu, sambil mengeluarkan suara yang indah. Begitu indahnya situasi lewotana yang sejuh, damai dan tentram bersatu dengan alam. Dunia terus berputar, kehidupan masyarakat di lewotana pun terus berubah, dan sikap masyarakat terhadap alam pun mulai berubah. Satwah yang seharusnya dilindungi, malahan tiba-tiba lenyap, hilang tidak kedengaran suaranya lagi. Ke mana saja burung-burung itu?? Pertanyaan ini muncul ketika saya berlibur ke tempat kelahairanku, yaitu Eputobi. Pada waktu itu pohon besar yang dulunya berada di tepi jalan, saat itu sudah berada di tengah yang diapiti jalan raya untuk mempermudah kendaraan dari jurusan Larantuka ke Maumere dan dari Maumere ke Larantuka. Pohon itu tetap ada tapi sepi tidak ada burung yang bertengger di dahan maupun di ranting-rantingnya. Saya bertanya kepada saudaraku, sudah kemana burung-burung yang dulu begitu banyak, jawabnya sudah dibedil orang, termasuk orang Eputobi sendiri. Ah begitu kejamnya!! Bukannya hanya di situ saja, tetapi burung-burung yang begitu banyak di Lewooking (kampung lama) pun ikut musnah. Para pemburu menggunakan cara memberikan sesajian padad leluhur di Lewooking agar mereka dapat memperoleh burung yang banyak.

Oleh karena burung-burung di hutan telah punah, habis, generasi Lewoingu mulai kebingungan mencari tempat burung. Mencari kesana kemari tidak ketemu burung-burung yang dikehendaki, muncul dalam benak mereka ada mangsa lain yang lebih mudah didapat. Mangsa ini perlu dimusnahkan pula agar jangan mengganggung kehidupan kita. Mereka pun mulai mengadakan ritual agar mangsa yang dicari sebagai pengganti burung cepat dihabisi. Mangsa-mangsa di lewotana ada banyak, jadi para pencari mangsa ini kebingungan, mangsa yang mana harus dimusnahkan. Mereka pun berdiskusi, berargumentasi yang dipandu oleh sang GURU PENGECUT. Sang Guru memberikan kriteria mangsa yang harus dihabisi, yaitu mangsa itu suka mengkritisi sang guru, menentang kebijakan yang dibuat oleh sang guru. Untuk lebih mengintensifkan kriteria tersebut, sang guru mengerahkan anjing-anjing peliharaannya melacah mangsa yang memenuhi kriteria tersebut. Maklumlah anjing seekor binatang yang memiliki penciuman yang tajam, tidak sulit menemukan mangsa itu, kemudian para anjing-anjing itu memberikan laporan kepada sang guru bahwa mangsa yang dicari telah ditemukan. Sang guru bersama anjing-anjing peliharaannya mengadakan ritual lagi agar tindakan mereka jangan sampai diketahui orang lain, dengan kata lain jangan omong-omong dengan orang, hanya kita saja yang tau.

Berdasarkan laporan bahwa tempat yang ada mangsanya atau akan di lewati mangsa yang memenuhi kriteria di atas adalah di suatu tempat yang bernama "BLOU". Tempat ini letaknya jauh dari desaEputobi, akan tetapi masih dapat dijangkau, karena sang guru memiliki ilmu sihir, ilmu siluman walaupun gelap, jauh dapat ditempuh dalam waktu yang singkat. Di antara mereka terjadi komunikasi jarak jauh dengan menggunakan kekuatan supranatura, telepati. Mengapa menggunakan telepati, ya kita tau saja sang guru berada di tempat yang jauh dan menghindari alat deteksi dari astronout di ruang angkasa. Mengingat bahwa satelit mata-mata sudah berada di antara Ile Muda , Lewohari, dan Wolomeang. Dengan menggunakan telepati operasi mereka tidak terdeteksi, dan dilancarkan aksi pada malam hari karena sang mangsa lewatnya pada malam hari melintasi tempat tersebut di atas. Di Blou generasi gelap mulai beraksi, karena memang kebingunan tidak mendapat burung yang biasa dibedil, dikira burung kakatua, tau-tau burung elang. Dalam situasi demikiian sang burung elang sebelum dihabisi sempat memberikan perlawanan dengan mengeluarkan jurus pamungkasnya yaitu jurus mencakar langit, sehingga para gnerasi gelap yang menghadangnya pun mendapat cakaran. Oleh karena malu karena dicakar, merekapun menggunakan topeng silmunan kemana pun mereka pergi sehingga tidak diketahui oleh masyarakat. Itulah kisah terjadinya insiden BLOU berdarah.

Berbicara apakah mereka terlibat atau tidak, mau mencari bukti ketidak terlibatan mereka mudah saja. Mereka sebelumnya sudah mengadakan ritual yang dipimpin oleh sang guru agar tindakan mereka tidak diketahui orang, dan bukti berikutnya adalah berdiam diri. Teknik berdiam diri adalah salah jurus pembuktian yang menjurus kepadad keterlibatan atau tidak. Biasanya fenomena berdiam diri, tandanya mengiakan, tetapi juga berdiam diri menandakan tidak. Seharusnya para terindikasi menunjukkan bahwa berdiam diri itu menandakan bahwa mereka tidak terlibat.Dan para pendukung atau suporternya pun memberikan penjelasan agar publik mengetahui bahwa mereka betul-betul tidak terlibat. Kasihan, dalam situasi demikian sang guru terus diombang-ambingkan, padahal belum tentu dilakukan sendirian, tapi ada kesepakatan dengan sang maha guru. Jadi sang guru kecil jangan sampai mati konyol sendirian lebih baik mengatakan yang sebenarnya, sehingga mungkin sekali sang maha guru juga akan terseret ramai-ramai ke depan pengadilan. Bukannya demikian??

Untuk apa lagi kita mencari bukti, kan sudah ada bukti yang jelas berupa alat yang digunakan, maupun fenomena berdiam diri itu. Toh, sang elang yang dihabisi tidak berdiam diri di alam sana, ia terus bersuara, karena sang elang memiliki penciuman yang tajam, dapat mendeteksi tangan-tangan yang masih berlumuran darah. Kita tinggal menunggu waktunya. SALAM GRESITULI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar