Senin, 04 Mei 2009

SALAM GRESITULI

Gesitulis adalah salah seorang figur dalam membangun komunitas Lewoingu. Lewoingu melrupakan desa yang terdiri dari desa Eputobi dan Riang Duli. Kedua desa ini sering saya istilahkan "Dwitunggal".Mengapa? Karena keturunan Gresitulis yaitu Suku Lewolein, Dowengoneng, Ata Maran dan Kebelen Kelen mendiami di kedua desa ini. Namun demikian akhir ini desa Riang Duli secara administratif berdiri sendiri, lepas dari desa Eputobi. Kedua desa tersebut secara administraatif berdiri sendiri-sendiri dan pisah, namun secara adat keduanya tidak dapat lepas begitu saja. Masih memilki tali p;ersaudaraan.

Oleh karena masih memiliki tali persaudaraan, apabila terjadi sesuatu pada salah satu suku keturunan Gresituli, tidak mengherankan muncul suatu kebersamaan untuk membela dan berjuang demi persaudaraan tersebut. Apa yang dilakukan oleh mereka hanya didasarkan pada tali persaudaraan sebagai keturunan Gresituli. Wajar apabila mereka saling menegur satu sama lain, membela yang benar dan mempersalahkan yang salah kepada saudara-saudaranya. Bukan dilihat pada sukunya, tapi pada tali persaudaraan. Kondisi demikian perlu disadari betul oleh semua keturunan Gresitulis dan yang lain di luar keturunana Gresituli.

Tatanan masyarakat yang telah dibangun oleh Gresituli bersama putra-putranya diwariskan secara turun temurun serta mendapat dukungan dari berbagai suku yang mendiami wilayah/daerah Lewoingu. Semua suku yang berada di daerah Lewoingu diberikan tugas dan tanggungjawab sendiri-sendiri. Tugas dan tanggungjawab tersebut dilaksanakan pada waktu ada kegiatan adat, dan tugas tersebut tidak boleh diambil alih oleh suku lain. Hal demikian sudah diketahui oleh masyarakat Lewoingu. Namun demikian, generasi Lewoingu di masa sekarang ini kurang memahami adat istiadat lewotana, mereka tidak melakukan melalui suatu diskusi, menggali informalsi yang lebih mendalam serta mulai menafsirkan sendiri-sendiri. Penafsiran itu bukannya untuk kepentingan masyarakat Lewoingu, namun lebih untuk kepentingan suku sendiri. Mengapa?? Karena generasi sekarang ini lebih melihat pada kebesaran dirinya dan menonjolkan sukunya. Padahal kebesaran suku atau keberadaan suku dengan tanggungjawabnya itu diakui oleh semua suku/masyarakat Lewoingu. Contohnya, pada waktu ada pentabisan imam di Lewoingu, semua suku diundang dan diberikan peranan dan tanggungjawab terlibat dalam perayaan pentabisan imam. Tugas dan tanggungjawab sesuai dengan adat di Lewo Oking (Kampuang Lama).

Kebersamaan demikian tidak dengan sendirinya ada, tapi keberadaannya melalui suatu proses. Dari waktu ke waktu terbentuk dan terbangunnya suatu tatanan masyarakat Lewoingu yang tentram dan damai. Karena terbentuk dan terbangunnya melalui suatu proses, apabila terjadi suatu perubahan, maka terjadilah sualtu gesekan di antara putra-putra Lewoingu sendiri. Gesekan itu membawa dampak pada masyarakat luas. Kalau dulu ada ketidak tentraman dalam masyarakat, pimpinan/tokoh masyarakat mulai berkumpul untuk mencari jalan pemecahannya. Namun demikian, terjadi "gesekan" timbul luka, bukannya dicarikan obat penyembuhnya, malah luka itu dibiarkan saja sehingga dari hari ke hari luka itu mulai melebar dan membusuk. Sedangkan orang yang menggesek pergi begitu saja. Kalau kita belajar filsafat tumbuh pagi, padi terkupas menjadi besar bukannya kena tumbukan alu, tetapi karena gesekan antara biji padi yang terus menerus sehingga menghasilkan butir-butir besar yang bersih dan mengkilap. Dari pemikiraan ini sebenarnya gesekan yang terjadi di lewotana semestinya pada akhirnya akan menghasilkan sesuatu yang baik bagi lewotana.

Membaca situasi yang sedang terjadi di lewotana, sebenarnya mudah diselesaikan kalau masyarakat Lewoingu mau mendengar orang/pihak lain. Saya juga tidak memperssalahkan masyarakat tapi merupakan satu kebiasaan masyarakat saya, yaitu sudah tau semua (kame moi porang kae) semua itu sudah dalam konsep. Ya, konsep tetap konsep, tapi tidak direalisasikan apagunanya konsep yang baik itu. Dari sini sebenarnya situasi demikian dapat diselesaikan melalui adat. Saya lebih cenderung diselesaikan lewwat adat, sedangkan kasus "Blou" biarkan diselesaikan lewat jalur hukum, oleh pihak penegak hukum. Cara demikian tentu diawali oleh pimpinan desa yaitu Kepala Desa dengan lapang dada dan itikad baik mempertemukan pihak-pihak masyarakat yang tidak tahu apa-apa tapi terprovokasi dan terintimidasi masuk dalam pengkotakan. Siapkah Saudara Kades Lewoingu??. Di samping itu pihak Muspika Kecamatan Titehena juga turun tangan membantu menyelesaikan permasyaralahan yang terjadi di desa Lewoingu. Kelihatannya pihak Muspika(maaf) membiarkan situasi terus memanas. Apakah kondisi demikian tidak mengganggu ketertiban dan keamanan serta pembangunan di wilayah Kecamatan Titehena. WWahai Muspika silahkan lakukan yang terbaik buat desa Lewoingu.

Di samping pihak Muspika Kecamatan Titehena, saya menghimbau kepada seluruh keluarga besar keturunan Gresituli membantu mencari jalan penyelesaian. Situasi demikian akibat ulah kita sebagai keturunan Gresituli (maaf) dan kita yang berulah, kitalah yang menyelesaikan. Jangan sampai kita keluarga besar keturunan Gresituli dipermainkan yang ujung-ujungnya ingin melenyapkan/menghilangkan status kita sebagai "Kebelen Raya", dan "Ata Marang Mukeng". Konsep yang saya ajukan ini untuk didiskusikan apabila dianggap berguna dalam rangka penyelesaian permasalahan di lewotana, saya terus menunggu komentar lewat blog kebelen kelen. Dalam berkomentar dan berdiskusi rasa persaudaraan terus dijaga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar